Cerpen ini sebenarnya cerpenku yang “Senyuman Terakhir”, tapi
karena tugas sekolah disuruh buat cerpen, jadi aku edit. Soalnya kalo gaya
bahasanya kayak yang di senyuman terakhir, pasti banyak yang gak ngerti (temen2
gue -,- ) …yaudah
Nice reading…!
Sebuah kisah yang bisa di jadikan inspirasi dan
pelajaran hidup. Tentang berartinya seseorang yang disebut saudara.
Karya : Nur
Fadilah Sawal
Tokoh :
♡ Bidi
♡ Karel
♡ Tante Arini
♡ Chinta
Yang copas, edit, trus ngaku-ngaku gue
sumpahin jerawatan seumur hidup ! AmiinYa Allah!
♡Sebingkai
Senyum Untuk Kakakku♡
Satu lagi sore dengan hujannya yang deras. Tetes
air tersebut masih setia menghujani bumi, membasahi apa saja yang dijatuhinya.
Tidak seperti sebagian besar orang, mereka akan menyukai anugerah tuhan yang
berupa hujan itu, karena selalu ada pelangi yang terbentuk setelah hujan. Tapi
aku benci hujan ! hujan selalu mengingatkan ku dengan kejadian itu, kejadian
yang membuatku tidak bisa memaafkan diriku sampai kapan pun.
Apa kalian ingin mengetahui peristiwa apa itu ?
jika iya, aku harap kalian bersedia membaca ceritaku ini…
Nama ku Bryan Elmi Domani. Tapi orang-orang
lebih sering memanggilku Bidi. Aku adalah anak kedua dari dua bersaudara. Kakakku bernama Karel
Susanteo, sebut saja dia Karel. Karel sangat menyayangiku, ia rela melakukan
apapun untukku.
~~Flashback
On~~
Aku melangkah perlahan menuju pintu. Mungkin
jika ada orang yang melihatku, mereka akan mengira bahwa aku adalah pencuri.
Bagaimana tidak, malam sudah sangat larut saat ini. Jam digital di tangan ku,
menunjukkan pukul 23.52 . ditambah lagi tingkahku yang layaknya seseorang yang
sedang mengendap-endap.
Aku memang sengaja seperti ini, agar
tidak ada satu pun orang di rumah mengetahui kehadiranku. Aku bosan mendengar
ceramah mereka jika melihat ku baru pulang jam segini.
Ciiiiiit… Perlahan pintu rumah ku buka. Suasana
rumah saat ini sangat gelap. Tak ada satu pun lampu yang menyala. Pasti
semuanya sudah tertidur. Itulah yang ku harapkan.
Aku pun menutup pintu saat seluruh
bagian tubuhku berada di dalam, dan kembali berjalan perlahan. Tapi tiba-tiba
saja lampu ruang tamu menyala. Ku lihat, Tante Arini sudah ada tepat di
depanku.
“Dari mana saja kamu, Bid ?”, tanya
Tante Arini tanpa basa basi.
“Biasalah ! Kayak gak tau ajah sih
!?! hati-hati loh, pura-pura bego itu, bisa bikin orang bego beneran !”,
balasku dengan nada cuek.
“Sudah berapa kali tante bilang,
kamu jangan teruskan hobi kamu yang boros itu ! apalagi, kebiasaan kamu itu
bukan hanya membuang-buang uang, tapi juga membuang waktu. Ingat Bid, status
kamu itu masih pelajar, tapi kalau setiap malamnya kamu pulang larut seperti
ini, kapan kamu punya waktu buat belajar ?”, omel Tante Arini padaku.
“Apa lo bilang ? gue ? hamburin uang
? terus, biaya kuliah lo itu apaan ? lo juga make duit bokap nyokap gue ! lo
pikir lo siapa ? gue sih mending, gue anaknya, nah ello ? lo tuh cuma adek
nyokap yang bisanya cuma gangguin hidup gue !”, sanggah ku dengan kata-kata
mutiara yang sedemikian indahnya.
Mendengar kata-kataku tadi, Tante
Arini langsung diam tanpa kata. Hahah, skakmat !! aku menang \(ˆ▽ˆ)/ !.
Lalu aku segera melangkahkan kaki
menuju lantai atas, kamarku.
Aku heran, melihat Karel ada di
tempat tidurku. Mengapa dia tidur disini ? apa dia tidak punya kamar ? apa
kamarnya sedang terkena banjir, jadi dia mengungsi kesini ? tapi sepertinya
tidak mungkin. Kalo kamar Karel kebanjiran, pasti kamar aku juga kena, kan
kamar kami berhadapan. Terus, ngapain nih orang disini ?
“Woe, bangun lo ! Ngapain sih lo
disini ?”, bentak ku membangunkannya dengan kasar.
“Bidi ? akhirnya lo pulang juga. Gua
daritadi nungguin lo !”, ucap Karel mencoba duduk di tepian tempat tidur.
“Ngapain lu nungguin gua ?”, sinis
ku
“Lah, lu kan adek gua ! gua khawatir
lu kenapa-napa, lu pasti abis dari balapan lagi kan ?”
“Kalo iya kenapa ? lagian, sejak
kapan lo peduli sama gua ?”
“Gua selalu khawatirin lu, Bid ! lu
jangan pura-pura lupa deh !”
“Oh
really ? I don’t care !”
“Bid, lu kok jadi kayak gini sih ?
mana Bidi yang dulu ? Bidi adek gua yang lembut, yang gak pernah kasar ! inget
Bid, papa sama mama pasti kecewa sama lu yang sekarang !”
“Argh ! lu tuh sama ajah sama si
Arini itu ! bisanya cuma ngoceh mulu ! udah sono, keluar lu dari kamar gua !”,
ucapku mendorongnya kasar.
Dengan terpaksa, ia melangkah keluar. Lalu saat ia di luar, Aku
membanting pintu, tepat di depan wajahnya. Rasanya, ada kepuasan tersendiri
untukku. Hahahahaah, aku puas telah melakukan itu padanya, lagi lagi aku menang
(~ˆ▽ˆ)~ ~(ˆ▽ˆ)~ ~(ˆ▽ˆ~).
~~o0o~~o0o~~
Karel sangat kesal karena perlakuan ku tadi.
Pasti ia akan mengatakan “Tidak bisakah kau sedikit menghormati ku, Bid ? aku
ini kakak mu ! kakak kandung mu !”. ah, aku tidak perduli !
Karel merebahkan tubuh di kasur empuk
miliknya. Sejenak ia merasa nyaman, mungkin karena ia lelah.
DRRRTT!!
DRRTT!!
Sebuah getaran panjang terdengar.
Karel segera bangkit setelah menyadari bahwa getaran itu berasal dari
handphonenya yang bertanda ada sebuah panggilan masuk. Tapi, dimana benda itu
sekarang ?
Menit berikutnya Karel telah
mengingat bahwa handphonenya telah ku banting tadi siang. Harusnya hp itu
rusak, tapi kenapa masih bergetar ?
Karel coba menunduk untuk
mencarinya. Untunglah benda itu bergetar, jadi Karel dapat dengan mudah
mendeteksi keberadaannya. Benda itu tergeletak dekat sekali dengan kolong
tempat tidur. Karel segera meraih benda kecil persegi tersebut. Tapi benda itu
telah berhenti bergetar.
Dari layar hp yang sudah retak
karena benturan tadi siang itu, terlihat ada 23 panggilan tak terjawab, 11
pesan baru, dan -ВВМ™ dari Chinta.
Cepat-cepat Karel menelfonnya balik. Karena pasti Chinta punya keperluan
sehingga menghubungi Karel sedemikian sering. Kebetulan juga Karel tadi memang
ingin menelfonnya, hanya saja ia takut, Chinta sudah terlelap karena sekarang
memang sudah cukup larut.
“Hallo”, terdengar suara seorang gadis dari seberang
sana. Tidak salah lagi, tentunya dia Chinta.
“Hallo, Chin. Ada apa kamu kok
nelfonin terus ? sorry yah, aku gak angkat, soalnya dari aku makan malam tadi
aku langsung ke kamar Bidi nungguin dia pulang.” Jelas Karel tanpa ditanyai.
“Hm..ya.ya ! gak papah kok, Rel !
gua Cuma khawatir ajah, soalnya gua denger dari tante Arini, lu dan Bidi
bertengkar lagi tadi siang, ada apa lagi emangnya ?”, Tanya Chinta. Kalian
jangan curiga karena perhatian Chinta. Dia memang anak yang berjiwa social gitu
deh, dia itu sahabat terdekatnya kakak ku. Chinta tau semua masalahku dengan
kakakku, Karel. Karena Karel tidak pernah segan untuk curhat padanya. Bahkan
kata Chinta, Karel sering menangis di depannya, jika mengingat keluarga kami
yang kini berantakan. Dan disaat seperti itu, Chinta selalu punya cara untuk
menenangkan dan menghibur Karel.
“Ya, begitulah !”, Karel menjawab
pertanyaan Chinta dengan lesu.
“Memangnya ada apa lagi sih ?”
“Tadi siang, aku nyembunyiin kunci
motornya dia. Soalnya aku gak mau kalo dia balapan lagi. Tapi dia malah
ngacak-ngacak kamar aku, terus nyita hp aku. Kita adu mulut cukup lama, dan dia
mengancam, kalo aku gak kasih kuncinya, hp aku bakal dia banting. Awalnya sih
aku gak mau, kalo Cuma hp sih gak papah, daripada dia ngebahayain dirinya
dengan balapan terus ?. tapi masalahnya, dia juga ngancem gak pengen pulang
lagi ke rumah. Terpaksa aku kasih kunci itu. Tapi pas kunci itu ada di
tangannya dia, dia malah ngebanting hp aku terus pergi gitu ajah.” Karel
mengakhiri ceritanya yang sangat miris itu.
“Astaga, adik lu itu keterlaluan yah
! entah apa yang bisa kita lakuin untuk ngerubah sifatnya itu !”, Chinta juga
terdengar lesu.
“Gua juga gak tau, gua gak punya ide
lagi. Eh iyah, kok lu belum tidur ?”
“Hm…gua gak bisa tidur sebelum
denger kabar lu hari ini. Gua kan gak mau ketinggalan status ter-update dari tuan Karel Susanteo !”,
kini Chinta dengan nada mengejek.
“Segitu nge-fansnya yah, mbak ? kalo
mau liat status, pantengin ajah fb sama profil gue di bbm ! gampang kan ?”
“Ah, status lo difb atau di BBM mah
selalu basi ! palingan cuma nulis STUDY atau gak BUSY, setdaah !”
“Ahahahahah, lo tuh emang paling
bisa yah ?!”
“Paling bisa bikin lo ketawa kan ?”
“Bukan! Tapi paling bisa bikin gue
skakmat !”
“Ahahaha ! kasian deh lo ! lu tuh
gak bakal pernah bisa kalah kalo debat sama B’tari Chinta Indrapradnya !”,
Chinta membangga-banggakan dirinya.
“Ya,ya ! udah tidur lu sana ! entar
kesiangan lagi !”
“Okey, bos ! Kalo gitu sampai ketemu
besok yeh , Assalamualaikum !”
“Walaikumsalam”
Pasti kalian tidak akan percaya,
kalau aku itu dulunya anak yang baik dan lembut. Tapi semenjak orang tua ku
meninggal, aku jadi urak-urakan, hobi balapan, buang-buang uang. Padahal aku
sendiri tau, kalo harta yang keluarga ku miliki tidak akan bertahan lama,
karena papah sudah tidak ada. Tidak ada yang mengurusi perusahaannya. Papa
bilang, saat aku dan Karel besar nanti kami yang akan mengurusi perusahaan itu,
tapi kan sekarang aku masih kelas 1 SMA, mengerjakan tugas matematika saja aku
tidak bisa, apalagi soal perusahaan.
Karel dan Tante Arini sudah sering
melarangku. Karena hobi balapanku itu selain buang-buang uang, tapi juga
membuang-buang waktu. Aku masih berstatus anak sekolah, tapi banyak waktuku
tersita untuk balapan. Bahkan sering sekali aku bolos. Guru-guru sering
memarahi Karel karena ulahku.
Satu lagi sifat buruk ku yang sangat
Karel tidak suka, aku sering kurang ajar pada Tante Arini. Padahal, sejak papa
dan mama meninggal, hanya tante Arini yang selalu ada untuk kami. Tante Arini
itu adik mama, umurnya kira-kira 21 tahun. Dia sekarang lagi sibuk kuliah. Aku
sering mengatainya sebagai penghabis keluarga kami, padahal uang yang tante
Arini gunakan untuk biaya kuliahnya adalah harta warisan bagiannya.
Esoknya
pulang sekolah …
“Woe, lu ngumpetin kunci motor gua
lagi yah ? apa mau, sekarang gadget atau laptop lu yang gua hancurin ?!”,
gertak ku memasuki kamar Karel tanpa permisi.
Karel yang sedang mengerjakan PR nya
hanya menatapku heran.
“Woe, kenapa lu diem ? sini buruan
mana kunci gue ?”
“Gak ada, Bid ! gua gak tau soal
kunci lu itu !”
“Gak usah sok bego deh ! gua tau ini
ulah lu !”
“Terserah !”, Karel sinis dan
melanjutkan menulis.
Aku menghampiri Karel, dan merampas
bukunya lalu ku robek semuanya.
“Ooooey ! PR Gua ! itu tadi udah mau
selesai, trus lu rusakin ? gila lu !”
“Sekarang kita impas !”, ucapku
enteng lalu melangkah keluar dari kamarnya.
“Bid, lu mau kemana ?”, Karel
tiba-tiba menghampiriku saat aku ingin keluar rumah.
“Bukan urusan lu ! yang jelas, gua
males tinggal disini !”
“Emang, kncinya udah ketemu ?”
“Udah. Ada di saku celana gue
ternyata !”, ucapku tanpa rasa berdosa sama sekali.
“What ? jadi kunci itu ada di
kantong celana lu, trus lu demonya ke gua, udah gitu ngerusak tugas gue lagi !
gila lu !”
“Eh, lu tuh kayak ibu-ibu yah,
ngomel mulu! Udah awas, gue mau pergi !”
“Lu gak bakal kemana-mana ! Bid,
ingat kata mama, kita harus focus sekolah, jadi orang sukses, bikin papa mama
bangga ! tapi, dengan sikap lu yang kayak begini, bagaimana mereka bisa bangga
? yang ada mereka kecewa ! kecewa ngeliat gua gak berhasil jadi kakak yang
baik, yang bisa arahin lu ! please Bid, jadi Bidi yang dulu !”, aku terdiam
mematung sepertinya kata-kata Karel menyentuhku. Tuhan, bisakah aku menjadi
seperti dulu ?.
Karel memeluk ku, “Bid, gua sayang
sama lo !”, bisiknya namun tampak jelas di telingaku. Tapi aku kaku, sama
sekali tak membalas pelukannya.
Jam menunjukkan pukul 07.53 malam,
waktunya makan malam. Di luar sana sedang hujan. Karel menuju kamar ku,
bermaksud mengajakku dinner bersama.
Tapi di dalam tak ada siapa-siapa. Hanya selembar kertas yang bertuliskan
Rel, malam ini gua ada
kompetisi. Please izinin gua sekali ini. Dan lu gak usah sok nungguin atau
nyusulin gua lagi !
Tapi, Karel mengabaikan suruhan ku
itu, dia malah menyusulku.
~~o0o~~o0o~~
Vero…
Tristan…
Bidi…
Begitulah suasana ramai orang-orang di tempat
ini. Mereka menyoraki pembalap yang mereka sukai. Karel melihat sekeliling, tidak
ada Bidi ! ia terus mecari ku dengan berkeliling.
Ketiga motor dengan pemiliknya
masing-masing telah stand by di garis
start. Bersiap untuk berlomba. Karel terlihat cemas dan kebingungan, entah apa
yang sedang menyelimuti hatinya hingga segelisah itu.
1…2…3… Mulai !!!
Untuk sementara, aku memimpin. Tapi
apa ini ? kenapa rasanya ada yang aneh ? apa yang terjadi dengan motor ini ?
matilah aku, aku benar-benar tidak bisa berhenti ataupun berbelok. Padahal di
depan adalah sebuah danau. Kalau aku terus, aku akan tercebur kesana, dan
mungkin aku akan mati. Aduh, bagaimana ini ? aku hampir tidak bisa berfikir,
ditambah lagi hujan yang menghalangi pandanganku. Tubuhku dipenuhi keringat
dingin. Aku benar-benar takut.
Tiba-tiba seseorang muncul di depan
sana. Ia membuka lengannya dengan lebar, seperti ingin menghalangi sesuatu(?)
eh, tapi tunggu! Bukankah dia Karel ? dia ingin menghalangiku agar tak jatuh ke
danau itu ? tapi bagaimana dengannya ?
Aku belum sempat berfikir, tapi
motor itu telah benar-benar sampai disana. Aku terjatuh dari motor sial itu.
Sedangkan Karel? Ia terpental jauh karena tertabrak oleh motor ku. Tanpa pikir
panjang, aku menghiraukan sakitnya kaki ku karena jatuh tadi, aku segera
menghampiri tubuh kakak ku yang tergeletak bersimbah darah. Aku tak percaya,
apa yang telah ku lakukan ? aku membunuhnya ?
Aku memeluk tubuh Karel dengan erat,
dengan tak henti-hentinya air mata itu terjatuh. Aku menyesal, kini aku tak
merasakan lagi detak jantungnya. Tuhan, apakah dia meninggalkan ku ?
~~o0o~~o0o~~
Pagi ini, aku terduduk di samping
sebuah liang lahat yang tanahnya masih merah. Di depan nisan yang bertuliskan
nama kakak ku.
Aku menangis menyesal di bawah hujan
yang lagi-lagi turun sangat deras pagi ini. Sepertinya hujan pun ikut berduka, menemaniku
dalam kesedihan. Tuhan, mengapa kau mengambil nyawa nya ? mengapa bukan aku
saja? Adik macam apa aku ini? Aku bahkan tak pernah memanggil Karel dengan
sebutan kakak lagi sejak mama papa pergi 3 tahun lalu. Aku tak pernah
menghormatinya, aku selalu menyakitinya, membuatnya susah, membuatnya dimarahi,
bahkan sering aku membuatnya menangis. Tapi apa? Sekarang dia pergi, pergi
untuk selamanya, hanya karena menyelamatkan ku? Adik yang paling ia sayangi.
~~Flashback Off~~
Itulah peristiwa yang ku maksud.
Kecelakaan itu terjadi di sabtu malam yang sedang hujan. Karena itulah aku
selalu mengingatnya di kala hujan turun. Malam itu, Karel mendengar bahwa
Tristan dan teman-temannya telah menyabotase motorku agar aku tak menang. Dasar
licik mereka ! padahal aku ingin sekali memenangkan kompetisi itu, karena
hadiahnya yang cukup besar. Yang bisa mengganti uang yang ku hamburkan selama
ini. Sudah ku bilang kan, siang itu aku benar-benar memikirkan kata-kata Karel.
Aku bertekad, bahwa pertandingan malam itu akan menjadi balapan terakhir jika
aku menang. Tapi justru kompetisi itu menjadi balapan terakhir ku karena kakak
ku meninggal.
Mungkin itu semua adalah takdir
Tuhan. Takdir yang sangat tidak ku harapkan. Tapi, mulai saat itu, aku berjanji
akan ku ukir senyum bangga untuk kakak ku, juga untuk mama dan papa. Aku tidak
akan melakukan hal yang tidak ia sukai. Aku akan menjadi Bidi yang dulu. Aku
akan sekolah serius. Dan aku akan menghormati tante Arini. Aku ingin,
kesempatan yang Kak Karel berikan untukku ini, tidak sia-sia. Tersenyumlah
kakak ku. J
~~The End~~
Jelek
kan ? gaje kan ? sorry mbak, gue masih penulis amatiran belum handal :D ! papay
ajah deh !
Visit :
http//nurfadilahsawal.blogspot.com